awan mengandung
mendung
beriringan mega-mega itu menuju kelam
menghitam
lalu berat, semakin berat
jutaan kaki gerimis menggurat-gurat
tak sabar hendak luruh
tergesa menunggu jatuh
nun di bawah sana
bumi rekah, memecah serupa luka
menggeliat serupa ular
mengutus anak angin berpusar
menjemput hujan, merengkuh bumi yang tak lagi sabar
rindu ini terakhiri
Rabu, 14 November 2012
Tujuan Akhir
bulir demi bulir iman berjatuhan
untai demi untai doa-doa dipanjatkan
serupa kutub magnet selatan, utara
dua rupa, tuju arah berbeda
pada akhirnya hanya untuk sebuah kata
jalan pulang, itu saja.
untai demi untai doa-doa dipanjatkan
serupa kutub magnet selatan, utara
dua rupa, tuju arah berbeda
pada akhirnya hanya untuk sebuah kata
jalan pulang, itu saja.
Jumat, 01 Juni 2012
Sebuah Sapa
siapa namamu?
tanyanya padaku
wanita cantik bermata biru
rambut mayangnya tergerai hingga bahu
mengalun perlahan ditiup sang bayu
aku hanya tersenyum
melihatnya berjongkok di depanku, penuh kagum
hingga anting-antingnya bergoyang serupa pendulum
hampir setiap hari
di kala senja jelang pergi
dan rembulan menyelimuti mentari
dia datang padaku, menghampiri
dan selalu pertanyaan yang sama
juga dengan laku yang tak beda
berjongkok di depanku, menanyakan nama
sebelum seorang wanita paruh baya
datang menjemputnya
wanita cantik jelita
mereka bilang dia gila
sungguh aku tak percaya
hanya dialah seorang yang selalu menyapa
padaku yang tak bisa beranjak pergi dari rerimbun bunga
terbelenggu sebagai arca
tanyanya padaku
wanita cantik bermata biru
rambut mayangnya tergerai hingga bahu
mengalun perlahan ditiup sang bayu
aku hanya tersenyum
melihatnya berjongkok di depanku, penuh kagum
hingga anting-antingnya bergoyang serupa pendulum
hampir setiap hari
di kala senja jelang pergi
dan rembulan menyelimuti mentari
dia datang padaku, menghampiri
dan selalu pertanyaan yang sama
juga dengan laku yang tak beda
berjongkok di depanku, menanyakan nama
sebelum seorang wanita paruh baya
datang menjemputnya
wanita cantik jelita
mereka bilang dia gila
sungguh aku tak percaya
hanya dialah seorang yang selalu menyapa
padaku yang tak bisa beranjak pergi dari rerimbun bunga
terbelenggu sebagai arca
Kamis, 31 Mei 2012
Rembulan Tertusuk Daun
rembulan tertusuk daun
seirama rimbun buluh mengalun
sang dara, menopang wajah, melamun
dara merindu jejaka
yang beriring sinar surya
dia kembara, entah kemana
sebuah janji
terpatri bersama embun pagi
nona jelita, yakinlah, aku akan kembali
sewindu telah berlalu
menderas bagai hujan, merinai rindu
jejaka tak kunjung bertamu
kemanakah engkau wahai pujaan
lupakah engkau semua kenangan
kala masa, berlarian kita di antara pematang, bergandengan
mengejar angan, melayang terbang, renda impian akan masa depan
rembulan semakin tertusuk daun
di antara ranting-ranting terayun
sang dara, menopang wajah, melamun
kekasih, senyap, serupa bayang, hilang tertelan halimun
seirama rimbun buluh mengalun
sang dara, menopang wajah, melamun
dara merindu jejaka
yang beriring sinar surya
dia kembara, entah kemana
sebuah janji
terpatri bersama embun pagi
nona jelita, yakinlah, aku akan kembali
sewindu telah berlalu
menderas bagai hujan, merinai rindu
jejaka tak kunjung bertamu
kemanakah engkau wahai pujaan
lupakah engkau semua kenangan
kala masa, berlarian kita di antara pematang, bergandengan
mengejar angan, melayang terbang, renda impian akan masa depan
rembulan semakin tertusuk daun
di antara ranting-ranting terayun
sang dara, menopang wajah, melamun
kekasih, senyap, serupa bayang, hilang tertelan halimun
Rabu, 09 Mei 2012
Usai
tautan hati yang kita tata
satu-satu runtuh
kasih yang kita jaga
tapak demi tapak, gegas menjauh
jejeran janji setia
bait demi bait luruh
baris demi baris percaya
serempak terjatuh
sesempurna itulah rasa yang pernah ada
sesempurna itu pula kisah memusnah, tiada
satu-satu runtuh
kasih yang kita jaga
tapak demi tapak, gegas menjauh
jejeran janji setia
bait demi bait luruh
baris demi baris percaya
serempak terjatuh
sesempurna itulah rasa yang pernah ada
sesempurna itu pula kisah memusnah, tiada
Jumat, 27 April 2012
Ikatan
rindu
hiasi relung nan jauh di hatiku, akanmu
yang enggan melepas genggaman tangan, lalu doa-doa kau hantarkan, mengiring langkahku
cinta
mengingatkanku akan rona
kasihmu yang teduh, kala suka, juga lara
setia
senyum indah bak mega di ujung senja
dan binar dua mata, yakinku, kau selalu ada
dan semua itu
akan selalu membuatku melangkah pulang, pulang padamu
meski harus melintasi ruang & waktu
hanya padamu, belahan jiwaku
hiasi relung nan jauh di hatiku, akanmu
yang enggan melepas genggaman tangan, lalu doa-doa kau hantarkan, mengiring langkahku
cinta
mengingatkanku akan rona
kasihmu yang teduh, kala suka, juga lara
setia
senyum indah bak mega di ujung senja
dan binar dua mata, yakinku, kau selalu ada
dan semua itu
akan selalu membuatku melangkah pulang, pulang padamu
meski harus melintasi ruang & waktu
hanya padamu, belahan jiwaku
Rabu, 28 Maret 2012
Terbunuhnya Seorang Ibu
telah terbunuh
seorang ibu, yang simpuh
airmatanya serupa peluh
menderas hingga ke laut jauh
hutan perawannya diperkosa
udaranya disekap jilatan polusi berbisa
lautnya diobok-obok,isinya penuh luka
tanahnya memerah, berdarah, bernanah, ternoda
telah terbunuh
seorang ibu, yang simpuh
anakanaknya kini sibuk menggenggam bara
kasih sayang telah terlupa, binasa
Kamis, 26 Januari 2012
Jeda, Hasrat
ini hanya tentang hasrat
keinginan yang menguat
berakar, menjalar, menggurat
namun terpendam di relungrelung nan jauh, berkarat
bisakah kita henti sejenak, jeda
dari impian dan gelimpangan asa
duduklah disampingku dalam diam
hanya jemari yang menyatu,saling genggam
terkadang waktu pun butuh henti
di satu titik, hanya jeda, bukan mati
lantas bisakah kita henti sejenak
menyesap air, menghirup udara, melepas sesak
bukan menyerah, hanya jeda, meski dalam benak
keinginan yang menguat
berakar, menjalar, menggurat
namun terpendam di relungrelung nan jauh, berkarat
bisakah kita henti sejenak, jeda
dari impian dan gelimpangan asa
duduklah disampingku dalam diam
hanya jemari yang menyatu,saling genggam
terkadang waktu pun butuh henti
di satu titik, hanya jeda, bukan mati
lantas bisakah kita henti sejenak
menyesap air, menghirup udara, melepas sesak
bukan menyerah, hanya jeda, meski dalam benak
Selasa, 24 Januari 2012
Sebuah Kerinduan
ini cerita kerinduan
tentang matahari yang terbakar perlahan
terbenam, menuju peraduan
saat kereta bergerak dalam ritme yang sama, tak terlalu kencang, jua perlahan
bersandar di bordes, ujung rangkaian
lantas ini pun tentang kisah yangsama
rindu akan sebuah senyum seorang wanita paruh baya
langkahnya terburu, menyambut di sebuah perempatan, bukan jalan raya
hanya sebuah gang di pinggir sungai yang kadang semu hijau, kadang coklat warnanya
dan kisah kerinduan yang menyisakan haru
pada kenang, penyesalan, keinginan dan waktu-laku yang terlewat di masa lalu
mencium tangannya yang keriput sekilas, bersanding berjalan, menyisir setapak, mengabu, berdebu
menghempaskan lelah dan mengkaitnya di pagar bambu
di depan rumah mungil yang di dalamnya selalu tersedia, hangat, tawa, pilu juga kelu
namun terkadang rindu, baiknya dibentang, jadikan untaian
entah di buku-buku jari di tiap kepalan tangan
atau bulir-bulir dari jali-jali hingga bola-bola plastik warna-warni berkilauan
33 jumlahnya atau ganjil di bulir ke sembilan puluh sembilan
Ya Rahim, Ya Rahim, Ya Rahim
lamat-lamat bibir ini, mengucap penuh takjim
Ya Rahman, Ya Rahman, Ya Rahman
berikan kedamaian dalam hati penuh kerinduan
pada senyuman, wanita paruh baya yang telah kau panggil pulang ke haribaan
tentang matahari yang terbakar perlahan
terbenam, menuju peraduan
saat kereta bergerak dalam ritme yang sama, tak terlalu kencang, jua perlahan
bersandar di bordes, ujung rangkaian
lantas ini pun tentang kisah yangsama
rindu akan sebuah senyum seorang wanita paruh baya
langkahnya terburu, menyambut di sebuah perempatan, bukan jalan raya
hanya sebuah gang di pinggir sungai yang kadang semu hijau, kadang coklat warnanya
dan kisah kerinduan yang menyisakan haru
pada kenang, penyesalan, keinginan dan waktu-laku yang terlewat di masa lalu
mencium tangannya yang keriput sekilas, bersanding berjalan, menyisir setapak, mengabu, berdebu
menghempaskan lelah dan mengkaitnya di pagar bambu
di depan rumah mungil yang di dalamnya selalu tersedia, hangat, tawa, pilu juga kelu
namun terkadang rindu, baiknya dibentang, jadikan untaian
entah di buku-buku jari di tiap kepalan tangan
atau bulir-bulir dari jali-jali hingga bola-bola plastik warna-warni berkilauan
33 jumlahnya atau ganjil di bulir ke sembilan puluh sembilan
Ya Rahim, Ya Rahim, Ya Rahim
lamat-lamat bibir ini, mengucap penuh takjim
Ya Rahman, Ya Rahman, Ya Rahman
berikan kedamaian dalam hati penuh kerinduan
pada senyuman, wanita paruh baya yang telah kau panggil pulang ke haribaan
Sirna dan Lalu
dalam lorong
sebuah gerbong
tatapan kosong
dan kerinduan-kerinduan berlompatan
angan akan sapa dan tanya memenuhi pikiran
lalu hati sibuk dengan persiapan jawaban
tentang pulang, tentang kenang, tentang halaman
yang bertahun ditinggalkan, dalam kembara, perjalanan, jua harapan
dan di tepi peron yang semakin sepi
langkah menjejak, tertatih dan sendiri
bola mata menatap nanar mereka yang saling cium tangan juga pipi, kanan kiri
mengantar, merangkul, menuju parkir kendara-kendara yang menunggu
aku berdiri di anak tangga terakhir stasiun, termangu
tak ada yang menunggu, dan harus ditunggu
jejakkan kaki dari sebuah becak di depan bangunan yang dulu kusebut rumah
selepas senja dan malam yang masih mentah
memutar anak kunci dalam remang menuju gulita, entah
tak ada suara, tak ada tanya, bahkan sapa pun punah
seiring pintu yang menjelaga, terbuka
hanya pekat, lengang, sunyi sebuah ruang, tanpa cahaya pelita
berkejaran dengan buncah segala rasa,aku terjaga, sinar temaram rembulan
muda, jatuh dari tingkap-tingkap jendela
keringat bercucuran, aku tersadar, kini, aku, terkungkung dalam beton-beton yang membelantara
kampungku, kecilku, sebagian dari aku, telah lama, jauh sirna
sebuah gerbong
tatapan kosong
dan kerinduan-kerinduan berlompatan
angan akan sapa dan tanya memenuhi pikiran
lalu hati sibuk dengan persiapan jawaban
tentang pulang, tentang kenang, tentang halaman
yang bertahun ditinggalkan, dalam kembara, perjalanan, jua harapan
dan di tepi peron yang semakin sepi
langkah menjejak, tertatih dan sendiri
bola mata menatap nanar mereka yang saling cium tangan juga pipi, kanan kiri
mengantar, merangkul, menuju parkir kendara-kendara yang menunggu
aku berdiri di anak tangga terakhir stasiun, termangu
tak ada yang menunggu, dan harus ditunggu
jejakkan kaki dari sebuah becak di depan bangunan yang dulu kusebut rumah
selepas senja dan malam yang masih mentah
memutar anak kunci dalam remang menuju gulita, entah
tak ada suara, tak ada tanya, bahkan sapa pun punah
seiring pintu yang menjelaga, terbuka
hanya pekat, lengang, sunyi sebuah ruang, tanpa cahaya pelita
berkejaran dengan buncah segala rasa,aku terjaga, sinar temaram rembulan
muda, jatuh dari tingkap-tingkap jendela
keringat bercucuran, aku tersadar, kini, aku, terkungkung dalam beton-beton yang membelantara
kampungku, kecilku, sebagian dari aku, telah lama, jauh sirna
Langganan:
Postingan (Atom)