Kamis, 26 Januari 2012

Jeda, Hasrat

ini hanya tentang hasrat
keinginan yang menguat
berakar, menjalar, menggurat
namun terpendam di relungrelung nan jauh, berkarat

bisakah kita henti sejenak, jeda
dari impian dan gelimpangan asa

duduklah disampingku dalam diam
hanya jemari yang menyatu,saling genggam

terkadang waktu pun butuh henti
di satu titik, hanya jeda, bukan mati

lantas bisakah kita henti sejenak
menyesap air, menghirup udara, melepas sesak
bukan menyerah, hanya jeda, meski dalam benak

Selasa, 24 Januari 2012

Sebuah Kerinduan

ini cerita kerinduan
tentang matahari yang terbakar perlahan
terbenam, menuju peraduan
saat kereta bergerak dalam ritme yang sama, tak terlalu kencang, jua perlahan
bersandar di bordes, ujung rangkaian

lantas ini pun tentang kisah yangsama
rindu akan sebuah senyum seorang wanita paruh baya
langkahnya terburu, menyambut di sebuah perempatan, bukan jalan raya
hanya sebuah gang di pinggir sungai yang kadang semu hijau, kadang coklat warnanya

dan kisah kerinduan yang menyisakan haru
pada kenang, penyesalan, keinginan dan waktu-laku yang terlewat di masa lalu
mencium tangannya yang keriput sekilas, bersanding berjalan, menyisir setapak, mengabu, berdebu
menghempaskan lelah dan mengkaitnya di pagar bambu
di depan rumah mungil yang di dalamnya selalu tersedia, hangat, tawa, pilu juga kelu

namun terkadang rindu, baiknya dibentang, jadikan untaian
entah di buku-buku jari di tiap kepalan tangan
atau bulir-bulir dari jali-jali hingga bola-bola plastik warna-warni berkilauan
33 jumlahnya atau ganjil di bulir ke sembilan puluh sembilan

Ya Rahim, Ya Rahim, Ya Rahim
lamat-lamat bibir ini, mengucap penuh takjim

Ya Rahman, Ya Rahman, Ya Rahman
berikan kedamaian dalam hati penuh kerinduan
pada senyuman, wanita paruh baya yang telah kau panggil pulang ke haribaan

Sirna dan Lalu

dalam lorong
sebuah gerbong
tatapan kosong


dan kerinduan-kerinduan berlompatan
angan akan sapa dan tanya memenuhi pikiran
lalu hati sibuk dengan persiapan jawaban
tentang pulang, tentang kenang, tentang halaman
yang bertahun ditinggalkan, dalam kembara, perjalanan, jua harapan

dan di tepi peron yang semakin sepi
langkah menjejak, tertatih dan sendiri
bola mata menatap nanar mereka yang saling cium tangan juga pipi, kanan kiri

mengantar, merangkul, menuju parkir kendara-kendara yang menunggu
aku berdiri di anak tangga terakhir stasiun, termangu
tak ada yang menunggu, dan harus ditunggu

jejakkan kaki dari sebuah becak di depan bangunan yang dulu kusebut rumah
selepas senja dan malam yang masih mentah
memutar anak kunci dalam remang menuju gulita, entah
tak ada suara, tak ada tanya, bahkan sapa pun punah

seiring pintu yang menjelaga, terbuka
hanya pekat, lengang, sunyi sebuah ruang, tanpa cahaya pelita
berkejaran dengan buncah segala rasa,aku terjaga, sinar temaram rembulan
muda, jatuh dari tingkap-tingkap jendela
keringat bercucuran, aku tersadar, kini, aku, terkungkung dalam beton-beton yang membelantara
kampungku, kecilku, sebagian dari aku, telah lama, jauh sirna