sebuah sandal jepit
hanya sebelah dan terhimpit
di anak tangga sebuah masjid
tak lagi berwarna bahkan karetnya pun mulai irit
dulu dia berwarna biru
menggantung rapi di dalam warung yang dijaga seorang ibu
lalu kakek tua menebusnya dengan uang lima ribu
tapi itu dulu, sekian minggu bahkan mungkin bulan yang telah lalu
berhari jepit itu menemani
lelaki tua datang dan pergi
lima kali dalam sehari
dari rumahnya untuk menuju ke Masjid ini
lantas di hari yang tiba-tiba hujan
tanpa mendung sebagai pemberitahuan
kakek tua itu hendak menyebrang jalan
berlari, dia enggan hujan membuat gigil di badan
berbarengan sebuah sedan
melesat laju melanggarnya hingga nyawa terlepas, bahkan sang kakek lupa ucapkan selamat jalan
pada nyawa yang terus melayang naik diantar malaikat menghadap Tuhan
dan sandal jepit itu terlepas
entah mengapa yang satu begitu jauh terhempas
hingga di ujung anak tangga pas dekat teras
terhimpit, terlupa, menunggu sang empunya dan kembali bebas
walau sandal jepit, dia pernah punya bakti tanpa harap dapat balas
7 komentar:
rima yang asyik, ceritanya kuat bgt sur :)
sandal jepit sandal kulit.
Kue lapis kue bolu.
Lu mau...
Apik suli.
puisi ini beneran rimanya tidak terpaksa. dramatis.
hmm.. nyut-nyutan di dada.
eh banyak yg komen dimari toh :)
kirain suri yg wajib balas komen itu moderator sekaligus admin *lirik Om Kopi* ;))
makasih ya Mba Mia, Mas Joe & Mas Naim :)
kalo menulis puisi dan blogging lebih serius pasti akan banyak komentar di sini, nat. jadi jangan heran. barusan saya komentar juga di blogmu yang satuan ituh. sukses ya buatmu. ditunggu kunjungan dan komentar baliknya di blog saya
Mas Rusydi Hikmawan .. suwun Mas, tapi kalau untuk serius, biar Pak Dimas Nur saja, saya ndak :D
Wah asyik nih puisinya.
Aku masih sering gak konsisten nih nulis puisi berima.
Kadang pakai kadang gak, tergantung ma tali mood.
Posting Komentar